Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ihram dan Larangan - Larangannya Bagi Perempuan

Ihram dan Larangan - Larangannya | Pada postingan kali ini sedikit akan membahas seputar tanya jawab mengenai Perempuan yang melaksanakan Ihram.

Pelaksanaan Haji Bagi Perempuan

Bagaimana hukum perempuan yang akan berniat ihram ternyata meng-alami haid?

Menurut para ulama madzhab, kewajiban untuk berniat ihram dari miqat makani berlaku umum untuk semua jemaah haji atau umrah. Termasuk perempuan yang sedang haid, dia juga wajib berniat ihram sebelum atau ketika berada di miqat makani, sebagaimana juga dilakukan oleh jemaah yang lain. Menurut Imam al-Syafi'i, tidak ada larangan bagi perempuan haid untuk berihram. Bahkan ihram yang dia niatkan tetap dianggap sah sekalipun sedang dalam kondisi haid. Dia juga tidak diharuskan membayar fidyah apapun karena telah berihram dalam keaadan haid. Mengingat suci dari hadas kecil maupun besar tidak menjadi syarat sah ihram.

Sekalipun ihram boleh dilakukan dalam kondisi berhadas kecil maupun besar sebaik-nya jemaah yang tidak sedang haid melakukan ihram dalam kondisi thaharah (memiliki wudhu). Hendaknya setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk bisa berihram dalam kondisi terbebas dari hadas. Sunah hukumnya melakukan amal baik dalam kondisi memiliki wudhu

Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengalami haid pada saat berada di miqat makani, hendaklah tetap berniat ihram. Ihram yang dia lakukan tetap sah, karena suci dari hadas kecil maupun besar tidak menjadi syarat sah ihram. Jangan sekali-kali melewati miqat makani tanpa berniat ihram. Jika hal itu sampai terjadi, maka dia wajib membayar dam sebagai konsekuensi telah melanggar salah satu wajib haji atau umrah.

Baca juga: Cara Daftar Haji Reguler

Jika perempuan haid tetap wajib berihram sebagaimana jemaah yang lain, lantas apakah dia juga disunahkan mandi ihram?

Menurut Imam al-Syairazi, setiap orang disunahkan mandi terlebih dahulu sebelum berihram. Mandi ini dianjurkakan bagi semua orang tidak terkecuali, baik yang sedang berhadas besar maupun tidak. Oleh karena itu, perempuan haid juga disunah-kan mandi, apakah ketika akan berihram haji atau umrah. Bahkan menurut al-Nawawi, hukum mandi ihram adalah sunah yang sangat dianjurkan (sunnah mu'akka-dah) dan makruh untuk ditinggalkan.

Menurut para ulama, mandi sunah ihram bukan untuk menghilangkan hadas (li raf' al-hadats) haid maupun nifas. Perempuan haid atau nifas tetap wajib mandi jinabat setelah darah haid atau nifasnya berhenti. Mandi ihram bagi jemaah—termasuk perempuan haid atau nifas—bertujuan untuk membersih-kan tubuh (li al-nazhafah) dan berfungsi untuk menghilangkan aroma badan yang kurang sedap (li izalah al-raĆ­hah). Seperti telah maklum, jemaah haji maupun umrah akan berinteraksi dengan banyak orang. Aroma tubuh yang kurang sedap pasti akan mengganggu jemaah lain. Itulah mengapa mandi ihram disunahkan bagi seluruh jemaah, termasuk perempuan yang sedang haid atau nifas.

Di antara manfaat mandi sunah ihram

Bagi perempuan haid adalah bisa sekaligus membersihkan dan menyucikan darah yang keluar. Tubuhnya menjadi lebih segar dan tentunya lebih sehat. Belum lagi secara tinjauan medis, perempuan haid memang dianjurkan sesering mungkin mengganti pembalut. Darah haid yang dibiarkan ter-lalu lama akan memengaruhi kesehatan tubuh perempuan.

Apakah pakaian ihram perempuan harus berwarna putih?

Menurut para ulama, pakaian atau kain yang paling baik bagi orang yang berihram adalah yang berwarna putih. Hukum me-ngenakan pakaian berwarna putih hukumnya adalah sunah. Alasannya tidak lain adalah ittiba', yakni mengikuti apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain, seseorang juga boleh mengenakan busana atau kain ihram yang tidak berwarna putih. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah melakukan thawaf dengan mengenakan kain berwarna hijau.

Di samping berwarna putih, Imam al-Syafi'i juga menganjurkan orang yang berihram untuk mengenakan pakaian baru. Jika tidak ada yang baru, hendaknya sese-orang mengenakan pakaian lama yang telah dicuci bersih. Artinya, jemaah tidak perlu memaksakan diri untuk membeli busana baru jika memang tidak sedang dalam kondisi berlebih. Boleh menggunakan pakaian putih lama, asalkan dicuci bersih sebelum dipakai untuk ihram.

Tidak benar jika ada sebagian orang yang berkeyakinan bahwa pakaian ihram harus berwarna putih. Ketika tersedia warna putih, hendaklah pakaian tersebut yang dipakai pada saat ihram. Dengan demikian, dia akan mendapatkan pahala sunah mengikuti ketentuan yang telah diajarkan Rasulullah saw (ittiba').

Baca juga: Panduan Singkat Manasik Haji dan Umrah

Apa hukum mengoleskan minyak wangi di anggota tubuh sebelum berniat ihram dan masih mem-bekas ketika sudah berihram?


Menurut para ulama, seseorang boleh dan bahkan sunah memakai minyak wangi sebelum berihram. Pemakaian minyak wangi dianggap sebagai upaya mem-bersihkan diri dan bertujuan untuk menghilangkan aroma tubuh yang kurang sedap. Berbeda kalau memakainya setelah niat ihram, maka hukumnya berubah menjadi haram dan harus membayar fidyah. Lantas bagaimana jika minyak wangi yang dioleskan di badan sebelum ihram ternyata aromanya terus tercium hingga setelah seseorang dalam kondisi ihram.

Menurut Imam al-Syafi'i, hal tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran ihram (tidak mengharuskan mambayar fidyah). Bahkan juga dianggap sebagai sesuatu yang sunah, karena Rasulullah saw sendiri melakukan hal tersebut. Agar semakin sempurna, hendaknya minyak wangi tersebut dioleskan ke badan pada saat baru usai mandi sunah ihram, karena itulah cara yang telah dilakukan Rasulullah saw.

Bagaimana juga dengan minyak wangi yang dioleskan di badan sebelum ihram, lantas minyak tersebut melumuri baju akibat keringat sehingga terus tercium aromanya setelah kondisi ihram. Menurut pendapat madzhab Syafi'i, hal ini tidak mengharuskan pelakunya membayar fidyah, karena tidak dianggap seperti baru memakai minyak wangi ketika kondisi ihram. Perpindahan minyak tersebut bukan melalui upaya sadar pemakainya, namun terjadi sendiri akibat keringat tubuh.

Lalu bagaimana jika bekas minyak wangi yang dipakai sebelum ihram dipindah-kan dengan sengaja ke bagian tubuh lain, bukan berpindah sendiri karena keringat. Praktik seperti ini tentu dianggap dalam kategori melanggar larangan ihram. Pelaku-nya wajib fidyah karena telah memindahkan minyak wangi tersebut secara sengaja. Dia dianggap memakai minyak wangi setelah kondisi ihram.

Baca juga: Tips Tetap Sehat Saat Berhaji

Apa hukum memakai minyak wangi di pakaian sebelum ihram dan masih membekas ketika sudah berihram?

Pada prinsipnya, boleh hukumnya memakai minyak wangi di pakaian sebelum berihram. Menurut pendapat yang paling shahih di kalangan ulama madzhab Syafi'i, seseorang tidak dilarang memakai minyak wangi di pakaian sebelum berihram sekali-pun bekasnya aromanya masih dijumpai setelah dia dalam kondisi ihram. Sekalipun hukumnya boleh, namun ada hal yang harus diperhatikan oleh orang yang menyemprot pakaiannya dengan parfum sebelum ihram. Hendaknya dia tidak melepas pakaian yang telah dibubuhi minyak wangi tersebut. Apabila dia menanggalkan pakaian itu dan memakainya lagi ketika dalam kondisi ihram, maka dia harus membayar fidyah. Perbuatan tersebut dikategorikan seperti memakai baju yang diberi minyak wangi setelah berihram.

Memang ada pendapat yang mengata-kan tidak perlu membayar fidyah, karena tergolong perbuatan yang dimaafkan (ma' fuw 'anhu). Namun pendapat ini dianggap lemah. Pendapat yang lebih kuat menyebut-kan, seeorang boleh menyemprotkan minyak wangi di pakaian sebelum ihram sekalipun aromanya masih tersisa pada saat ihram. Namun dengan syarat, dia harus berhati-hati untuk tidak melepas dan me-makainya kembali. Jika8 dia melepas baju

tersebut dan memakainya kembali pada saat berihram, dia wajib membayar fidyah. Oleh karena itu, para ulama tidak me-nyunahkan seseorang untuk menyemprotkan parfum di pakaian sebelum ihram. Praktik tersebut beresiko dapat melanggar larangan ihram. Sebaiknya seseorang yang hendak berihram membubuhkan parfum pada anggota badannya, bukan pada pakaiannya.

Baca juga: Solusi Bagi Wanita Saat Mengalami Haid Saat Haji

Apakah seseorang harus membayar fidyah jika ada helai rambut yang rontok atau patah ketika dia menyisir rambut atau menggaruk kepala ketika sedang ihram?

Menurut Imam al-Nawawi, orang yang sedang ihram dimakruhkan untuk menyisir rambut menggunakan sisir. Alasannya, perbuatan tersebut berpotensi meng-akibatkan rambut tercabut atau rontok. Demikian halnya jika seseorang merasakan gatal di bagian kepala, hendaknya dia tidak menggaruknya dengan kuku. Garukan dengan kuku juga berpotensi mengakibatkan rambut tercerabut atau rontok.

Larangan menyisir rambut menggunakan sisir—demikian pula menggaruk dengan kuku—ketika ihram didasarkan pada prinsip sadd li dzari'ah, yaitu menutup celah kemungkinan terjadinya pelanggaran yang diakibatkan sebuah perbuatan. Mengingat salah satu larangan ihram yang harus dihindari adalah memotong atau mencabut rambut. Jika seseorang ingin merapikan rambutnya pada saat ihram, sebaiknya cukup menggunakan jari jemari, bukan menggunakan sisir. Begitu pula jika ingin menggaruk bagian kepala yang gatal, hendaknya menggunakan sisi dalam jari-jemari (bagian dalam telapak tangan), bukan langsung dengan kuku.

Sekalipun hukumnya hanya makruh, menyisir rambut dengan sisir atau meng-garuk kepala dengan kuku pada saat ihram memiliki konsekuensi serius. Seseorang harus membayar fidyah jika sampai ada helai rambut yang tercabut akibat sisir atau garukan kukunya. Fidyah yang harus di-bayar akibat pelanggaran mencukur atau memotong rambut termasuk fidyah takhyir, yakni bebas memilih satu dari tiga jenis fidyah. Seseorang yang10 memotong rambut minimal tiga helai wajib membayar fidyah dengan cara memilih salah satu antara berpuasa, bersedekah atau berkurban (nusuk). Jika memilih puasa, maka wajib berpuasa selama tiga hari. Apabila memilih sedekah, maka wajib memberi makan tiga sha' enam orang fakir di mana setiap orang sebesar setengah sha' . Dan jika memilih berkurban, maka wajib menyembelih seekor domba.

Apakah seseorang harus membayar fidyah jika memotong kukunya ketika sedang ihram?

Larangan memotong kuku ketika ihram diqiyaskan dengan larangan memotong rambut. Seorang muhrim (orang yang sedang ihram) wajib membayar fidyah apabila memotong kuku, baik kuku tangan maupun kaki. Sanksi fidyah bukan hanya karena memotong, tapi juga sebab cara lain yang bisa menyebabkan kuku terpotong, seperti memecahkan, mencabut, atau cara-cara yang lain.

Sanksi pelanggaran memotong kuku juga bersifat fidyah takhyir (boleh memilih), seperti yang berlaku pada sanksi memotong rambut. Ada tiga alternatif fidyah yang bisa dipilih, yakni berpuasa, bersedekah atau berkurban. Khusus bagi orang yang kukunya pecah, sehingga berpotensi menyebabkan luka yang lebih parah, maka dia diizinkan memotong bagian kuku yang pecah saja, yakni yang tidak tersambung dengan bagian kuku utuhnya. Menurut Imam al-Syafi'i, hal ini tidak mengharuskan pelakunya membayar fidyah. Namun jika memotong kuku secara sengaja tanpa udzur, maka dia dianggap telah bermaksiat dan wajib membayar fidyah.

Praktik memotong kuku memang ter-masuk dalam larangan-larangan ihram yang harus dihindari. Oleh karena itu, orang yang akan berihram sebaiknya memotong kukunya terlebih dahulu sebelum berniat ihram. Bahkan memotong kuku sebelum ihram termasuk amalan sunah. Jika dia melakukan hal tersebut, dia tidak hanya akan merasa lebih nyaman dan tidak terganggu dengan kuku panjangnya, namun sekaligus mendapatkan pahala melakukan sunah-sunah ihram.

Demikianlah postingan kali ini mengenai "Ihram dan Larangannya Bagi Perempuan". Semoga bermanfaat buat jemaah Haji perempuan yang sedang dan akan melaksanakan Haji. 

Posting Komentar untuk "Ihram dan Larangan - Larangannya Bagi Perempuan"