Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Thawaf Qudum dan Thawaf Umrah

Thawaf Qudum dan Thawaf Umrahada postingan kali ini sedikit akan membahas seputar tanya jawab mengenai Thawaf

Bagi jemaah yang menunaikan haji tamattu', kapan dia melaksanakan thawaf qudum?

Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum merupakan satu di antara sunah-sunah haji maupun umrah. Thawaf qudum memiliki keunikan tata cara pelaksanaan dibandingkan sunah-sunah haji atau umrah yang lain. Thawaf qudum hanya disunahkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji qiran dan ifrad, selama dia memasuki Mekah sebelum wuquf. Ketika tiba di Mekah setelah waktu wuquf, orang yang sedang berihram (muhrim) tidak lagi disunahkan untuk thawaf qudum. Hendaknya dia langsung konsentrasi melakukan ibadah nusuk yang merupakan inti ibadah haji, seperti wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, melontar jumrah 'Aqabah, dan kemudian thawaf ifadhah.

Suasana Jamaah haji Yang sedang melaksanakan Thawaf
Jemaah yang menunaikan haji tamattu' atau jemaah umrah tidak disunahkan untuk thawaf qudum. Orang yang melakukan haji tamattu' hendaknya langsung fokus dengan rangkaian inti ibadah nusuk-nya, yakni menunaikan thawaf umrah ketika sampai di Masjidil Haram. Hal ini juga berlaku bagi jemaah umrah. Dia tidak disunahkan untuk melakukan thawaf qudum ketika baru sampai di Mekah. Dia langsung saja menu-naikan thawaf umrah—yang merupakan thawaf rukun—ketika tiba di Masjidil Haram.

Seseorang tidak wajib membayar dam jika meninggalkan thawaf qudum, karena hukumnya hanya sebatas sunah. Namun dia dianggap telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keutamaan (fadhilah). Bagi sebagian jemaah haji Indonesia yang memilih haji qiran atau ifrad, hendaknya menunaikan thawaf qudum ketika tiba di Mekkah. Lantaran mereka dipastikan telah tiba di Mekah sebelum waktu wuquf. Sementara bagi jemaah haji tamattu' atau jemaah umrah, hendaknya langsung menunaikan thawaf umrah dan diniati sekaligus untuk thawaf qudum. Dia tidak perlu menunaikan thawaf qudum secara tersendiri. Menurut pendapat sebagian ulama, thawaf umrahnya akan dihitung sekaligus sebagai thawaf qudum.

Apakah perempuan disunahkan ramal pada tiga putaran awal thawaf?

Ramal adalah berjalan cepat dengan cara merapatkan langkah kaki tanpa harus melompat (watsb). Menurut para ulama, seseorang disunahkan untuk melakukan ramal pada tiga putaran pertama thawaf dan berjalan kaki di empat putaran sisanya. Namun hal ini tidak berlaku bagi orang yang tidak mampu, misalnya orang sakit atau lanjut usia.

Perlu juga diperhatikan, praktik ramal pada tiga putaran pertama thawaf ternyata hanya disunahkan bagi jemaah laki-laki. Jemaah perempuan tidak disunahkan untuk melakukan ramal maupun idhthiba' ketika melakukan thawaf. Lantaran ramal dan idhthiba' yang dilakukan jemaah perempuan dapat mengakibatkan aurat mereka ter-singkap. Perempuan hanya diperintahkan untuk berjalan biasa selama thawaf. Bahkan jika ada perempuan yang melakukan ramal, maka oleh al-'Ujaili dianggap telah melaku-kan perbuatan makruh.

Apa hukum mengonsumsi obat penghenti haid agar bisa melaku-kan thawaf?

Menurut sebagian ulama, perempuan yang sedang haid dibolehkan untuk mengonsumsi obat penghenti haid dengan tujuan agar bisa melakukan thawaf. Hanya saja ulama mensyaratkan, obat yang di-konsumsi harus berdasarkan rekomendasi atau resep dokter. Dengan demikian, obat yang dikonsumsi tidak akan membahayakan dirinya. Dan yang lebih penting, tidak hanya ibadah haji atau umrahnya saja yang bisa tetap terlaksana, namun kesehatan yang bersangkutan juga tetap terjamin.

Bagaimana status suci perempuan haid yang mengonsumsi obat penghenti menstruasi?

Menurut Imam al-Nawawi, terdapat dua pendapat di internal ulama madzhab Syafi'i mengenai status suci perempuan yang mengonsumsi obat penghenti menstruasi. Pertama, pendapat yang biasa disebut dengan istilah al-sahb, yakni kondisi yang mengategorikan rentang masa haid sebagai masa menstruasi, baik ketika sedang mengeluarkan darah haid maupun tidak. Menurut pendapat ini, seorang perempuan tetap dianggap dalam periode haid sekalipun darahnya berhenti lantaran mengonsumsi obat . Jika menganut pendapat ini, perempuan yang darahnya berhenti setelah mengonsumsi obat tetap berstatus haid, sehingga dilarang melakukan thawaf.

Kedua, pendapat yang biasa disebut dengan istilah al-talfiq atau al-laqth, yakni kondisi yang mengategorikan periode mengeluarkan darah sebagai kondisi haid dan periode tidak mengeluarkan darah sebagai kondisi suci. Ulama yang menganut pendapat kedua ini memiliki prinsip ayyam al-naqa' thuhr (hari-hari atau periode tidak keluar darah dianggap sebagai kondisi suci). Adanya darah yang keluar dianggap sebagai indikasi masa menstruasi dan bersih dari darah sebagai indikasi kondisi suci. Prinsip yang dianut ulama kelompok ini adalah al-naqa' baina al-damain thuhrun (masa terhentinya darah di antara dua aliran darah dianggap sebagai kondisi suci).

Berdasarkan prinsip al-talfiq atau al-laqth, perempuan yang darah haidnya ber-henti setelah mengonsumsi obat diizinkan dan sah untuk melakukan thawaf. Statusnya sudah dianggap suci, sehingga dia boleh melakukan aktivitas ibadah yang mensyaratkan thaharah, seperti thawaf maupun shalat. Dia juga tidak harus membayar dam akibat perbuatannya tersebut. Namun yang perlu diingat, perempuan yang haidnya berhenti akibat obat harus mandi besar terlebih dahulu, menyucikan najis haidnya, dan mengenakan pembalut sebelum menunaikan thawaf. Dengan demikian, dia dapat memastikan bahwa selama menunaikan thawaf tidak akan menyebabkan najis di dalam masjid.

Perempuan yang menunaikan haji tamattu' mengalami haid sebelum menunaikan thawaf umrah. Apa yang harus dia lakukan?

Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kaum muslimin tiga cara melaksana-kan haji, yakni tamattu', qiran, dan ifrad. Ketiga cara ini boleh dipilih oleh siapapun. Namun yang jelas, mayoritas jemaah haji Indonesia memilih haji tamattu'. Salah satu pertimbangannya, jemaah dapat lebih leluasa beraktivitas ketika berada di tanah suci karena bisa segera mengakhiri kondisi ihramnya (tahallul) setelah menunaikan ibadah umrah.

Lantas bagaimana perempuan yang memilih haji tammatu' mengalami haid sebelum melakukan thawaf umrah. Padahal dia harus segera berangkat ke Arafah untuk melaksanakan wuquf. Apakah dia tidak bisa melanjutkan ibadah haji lantaran haid yang dia alami. Menurut ulama madzhab Syafi'i, seseorang yang semula berniat ihram umrah (menunaikan haji tamattu' ) boleh menyisipkan niat haji sebelum dia memulai thawaf umrah. Dengan demikian, haji yangdia lakukan berubah menjadi haji qiran, karena dia berniat haji dan umrah secara sekaligus.

Cara inilah yang dianjurkan bagi jemaah perempuan yang mengalami haid sampai menjelang wuquf dan belum sempat menunaikan thawaf umrah. Menurut mayoritas ulama, dia dianjurkan segera me-rubah niat ihram yang semula haji tamattu' menjadi haji qiran. Dengan melaksanakan haji qiran, dia cukup melakukan thawaf dan sa'i satu kali. Namun dia tetap membayar hadyu atau dam qiran dan melakukan thawaf wada'.

Apakah perempuan yang meng-alami istihadhah boleh melakukan thawaf?

Sebagian jemaah perempuan ada yang me-ngalami pendarahan di luar siklus menstruasi. Darah ini tentunya bukan darah haid sebagaimana umumnya. Kondisi ini dalam disiplin ilmu fikih disebut dengan istilah istihadhah. Menurut para ulama, darah istihadhah tidak sama dengan darah haid. Karena berbeda, maka status perempuan istihadhah juga tidak sama dengan status perempuan haid. Kalau perempuan haid diharamkan shalat, perempuan istihadhah justru diperintahkan shalat. Jika perempuan haid dilarang melakukan thawaf, perempuan istihadhah justru diizinkan untuk thawaf. Kalau perempuan haid dianggap sedang berhadas besar, maka menurut al-Barkawi perempuan istihadhah dianggap sedang berhadas kecil.

Dalam madzhab Syafi'i, perempuan istihadhah diqiyaskan seperti orang beser (salis al-baul), yakni orang yang tidak bisa menahan kencing. Perempuan istihadhah maupun orang beser dikategorikan sebagai orang yang berhadas kecil secara terus-menerus. Situasi seperti inilah yang menyebabkan mereka dianggap tidak seperti kondisi orang kebanyakan, sehingga banyak mengalami kesulitan.

Islam banyak memberikan keringanan (rukhshah) bagi siapa saja yang mengalami keterbatasan. Hal ini juga yang berlaku bagi perempuan istihadhah. Darah yang terus keluar akibat istihadhah tentu membuatnya sulit terhindar dari najis, bahkan ketika melakukan thawaf. Dalam kondisi seperti inilah dia diinzinkan untuk menunaikan thawaf sekalipun sambil membawa najis.

Bagaimana cara thaharah perem-puan yang mengalami istihadhah agar bisa melakukan thawaf?

Menurut al-Nawawi, perempuan istihadhah cukup bersesuci dengan cara ber-wudhu. Sekalipun demikian, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan terkait tata cara wudhu bagi perempuan istihadhah. Perempuan istihadhah hendaknya berniat li istibahah al-shalah (agar diperbolehkan mengerjakan shalat) ketika berwudhu. Dalam konteks thawaf berarti dia berniat li istibahah al-thawaf (agar diperbolehkan menunaikan thawaf). Jika hanya berniat li raf' al-hadats (untuk menghilangkan hadas),

maka hal tersebut dianggap tidak mencukupi. Niat wudhu perempuan istihadhah seperti disebutkan di atas ternyata ber-konsekuensi pada status hadasnya. Hadas perempuan istihadhah sebenarnya tidak terangkat. Di samping karena hanya berniat li istibahah al-thawaf, darah istihadhah-nya bisa keluar sewaktu-waktu. Hal itulah yang sebenarnya membatalkan wudhu danmembuatnya terus berhadas.

Menurut sekelompok ulama yang me-nganut pendapat seperti disebut di atas, wudhu perempuan istihadhah pada hakikatnya tidak menghilangkan hadas kecil. Dia berwudhu hanya untuk diperbolehkan menunaikan thawaf (li istibahah al-thawaf). Oleh karena itu, wudhu perempuan istihadhah dikategorikan sebagai bersesuci secara darurat (thaharah dharurah). Karena dianggap darurat, wudhu perempuan istihadhah juga hanya boleh dilaksanakan pada kondisi darurat.

Terkait masalah thawaf, wudhu perem-puan istihadhah baru dianggap darurat jika dia sudah siap berangkat ke masjid untuk menunaikan thawaf.Sebelum berwudhu, hendaknya dia menyucikan najis darahnya terlebih dahulu dan setelah itu memakai pembalut. Jika setelah disucikan ternyata darah istihadhah masih mengalir, maka dia mendapatkan rukhshah dan thawafnya tetap dianggap sah.

Hal lain yang juga penting diketahui, menurut pendapat mayoritas ulama, thaharah dharurah hanya bisa digunakan untuk satu kali ibadah fardhu. Ketika berwudhu untuk thawaf 'umrah, maka dia tidak bisa melakukan ibadah fardhu lain kecuali berwudhu lagi. Hal ini tidak lain karena thawaf umrah adalah rukun umrah, sehingga dianggap sebagai ibadah fardhu. Apabila dia akan menunaikan salah satu shalat lima waktu misalnya, dia harus kembali berwudhu ketika akan shalat fardhu yang lain.

Demikianlah postingan kali ini yang membahas seputar pertanyaan Thawaf Bagi Perempuan. Semoga bermanfaat buat Sahabat Sekalian.

Posting Komentar untuk "Thawaf Qudum dan Thawaf Umrah"